Hujan menjelang sore, mengingatkanku pada sebuah dangau bersirap jerami di pematang Bapak. Si aku kecil meringkuk kedinginan di atas tikar pandan tua anyaman ibu. Api mengepul dari tungku perapian di kolong dangau tak jua menghangatkanku. Aku membayangkan seekor dadali menggigil sendirian, di atas bebukitan kecil tempat biasanya aku bersaudara mencari cendawan seusai hujan. Terkenang ulasan bijak Bapak, kala menjawab kecemasanku "Burung lebih bahagia mendiami hutan dan memakan dedaunan, daripada hidup di sangkar emas dengan selimut beludru. Ia takkan pernah kenyang meskipun kau sajikan roti setiap waktu"
Dan, setelah dewasa, setiap melihat seekor burung di kerangkeng, aku selalu merasa ada jiwa makhluk hidup yang dipenjara. Aku menganggap siapa pun yang gemar memelihara satwa-satwa liar, tidak mencintai kehidupan. Aku mencoba menarik sebuah kesimpulan mencemaskan:
Kelak di kemudian hari, kisah tentang makhluk bernama burung hanya ada dalam buku dongeng anak-anak! Kalau pun masih ada yang tersisa, para burung sudah lupa, bahwa mereka bisa terbang, karena habitatnya telah pindah ke dalam rumah-rumah manusia.
(Aku larut dalam Kenari Oh Kenari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar